Jumat, 04 April 2014

PILIH MANA?


“Apa kamu yakin akan tetap menunggunya, Kang?”.
Suara Arman membuyarkan lamunanku. Dia datang sambil membawa sepiring weci hangat dan dua gelas Aqua yang ia pesan dari kantin pondok. Hari ini aku pergi ke Dampit. Ke pondok Nasrudin tempat Arman, sahabatku mengajar.
“ Ayo, Kang. Sambil dimakan”. Aku mengambil satu weci yang masih hangat dan menggigitnya sebagian.
“Masih banyak gadis lain disana, yang tentu masih lebih baik dari dia. Jangan kau siksa dirimu dengan penantian yang tak berujung, Kang”.
“Ini bukan soal penantian, Kang. Tapi ini soal janji”. Kataku Sambil menelan potongan weci terakhir.
Semenjak masa kuliah dulu. Aku dan Arman punya panggilan khas, Kang. Mungkin karena latar belakang pondok pesantren sehingga kami lebih sering memanggil dengan Kang daripada memanggil dengan nama, atau bahkan bukan dengan Bro atau Sob seperti yang sedang ngetren saat ini.
“Janji. Janji jari kelingking? Memangnya sampai kapan kamu akan tetap memegang janji itu. Apa dia juga masih menepati janjinya. Buktinya, ia sudah pergi. Kemana dia sekarang?” kata-katanya penuh semangat, menantang aku untuk menjawab. Tapi aku masih diam
“Kang, masa pacaran itu memang kadang identik dengan janji-janji, yang manis-manis. Ada yang janji setia, tak pernah mendua. Ada yang cinta sehidup semati. Tapi kalau sudah jalan lama trus  tengkar. Janji ya tinggal janji”. Benar juga apa yang dikatakannya, pikirku dalam hati.
“Entahlah, Kang. Apa aku ini memang bodoh. Atau aku yang terlalu polos dengan tetap percaya pada janji itu. Aku sendiri tak tau. Bagiku, siapapun yang berjanji. Tetap harus di tepati, entah aku ataupun dia”.
“Dengan menyiksa dirimu seperti ini?”. Aku lihat kening Arman sedikit mengkerut. Aku tau dia kecewa dengan sikapku.
“Kang, dengar. Tuhan itu Maha Penyayang. Maha Pengasih. Tuhan itu tidak suka melihat hamba-Nya menyakiti dirinya sendiri seperti ini. Rahmat Tuhan itu luas, Kang. Bumi itu tak Cuma satu, ada banyak”. Dia berhenti sejenak untuk meminum Aqua gelasnya.
“Maksudnya, Kang?” aku sedikit heran dengan perumpamaan yang ia ucapkan.
“Maksudnya, wanita yang baik itu banyak. Nggak cuma satu. Nggak Cuma Yana. Masih banyak Yana-Yana lain yang menunggu kedatanganmu. Menunggu kau sapa. Jangan kau lepas marmut di tangan dengan harapan dapat marmut yang sedang terbang”

“Merpati, Kang”. Aku geli juga dengan perumpamaan yang ia buat
“Alah, podo ae. Pokoknya. Jangan kau sia-siakan hidupmu, hanya untuk menunggu orang yang nggak jelas seperti dia. Maaf ya Kang, kalau omonganku ini rada kasar. Biar kamu itu termotivasi. Biar kamu nggak galau terus. Wanita kok dibuat galau. Kayak Nggak ada kerjaan lain aja”
“Gayamu, Kang. Kayak nggak pernah patah hati aja”. Kataku sambil melempar satu buah cabe yang ada di piring ke arahnya.
Dia sedikit mengelak dari lemparanku. “ Emangnya kapan aku pernah patah hati?”
“Halah. Dulu itu, sewaktu pisah sama inisial A. Apa nggak galau”. Kataku sambil menaik-naikkan alisku, menggodanya.
“ Itu dulu. Sekarang kan udah Move On, Kang” katanya sambil tersenyum kecil. Nyindir aku ini.
“Cepet banget. Temenku bilang, Kang. Dibalik Move on yang lambat. Pasti tersimpan mantan yang hebat. Hehe...” tawaku penuh kemenangan.
“Halah. Prinsip gitu dipake Kang..Kang. Pantesan aja angel move on nya. Harusnya tuh diganti. Dibalik move on yang cepat, pasti ada wanita yang jauh lebih hebat, begitu. Haha..” tawanya. Pokoknya, nggak bakalan menang kalau main perumpamaan sama Arman.
“Iya deh nyerah. ngaku kalah aku. Tapi...” Sejenak aku berhenti, sedikit ragu untuk mengatakannya. Arman diam, menunggu.
“Aku akan tetap pada prinsipku, Kang. Memegang janji itu. Menunggunya” aku tak berani menatap Arman. Aku tau dia kecewa padaku.
Lama kami saling diam.
Terdengar Arman menarik nafas dalam. “Kang, sejujurnya aku nggak mau lihat kamu seperti itu, Kang. Rapuh. Seperti tak ada harapan”. Nadanya terdengar datar.
“Dimana Roni Cool yang dulu pernah aku kenal. Yang punya keinginan untuk keliling dunia. Dimana Roni Cool, yang dulu pernah dengan lantangnya berkata padaku bahwa ia akan mencapai impiannya itu meskipun orang lain tak percaya”
Terlihat Arman sangat bersemangat. Aku masih diam, menunggu lanjutan kata-katanya.
“Dimana sahabatku yang ceria dulu. Yang dengan keceriaannya itu suka menggoda adek kelas ketika di kampus”
Aku sedikit tersenyum dengan kata-katanya yang terakhir ini.
“Tuh kan. Kamu itu sebenarnya bisa move on, Kang. Cuma kamu itu masih silau dengan kenangan masa lalu. Masih dibayang-bayangi wajah Yana. Makanya, kalau kamu ketemuan. Jangan kamu pelototin wajahnya. Jadinya begini deh. Sukar lupa. Hehe..” katanya dengan senyum menyeringai.
“Ah, bisa aja kamu, Kang”. Aku kembali tersenyum gara-gara humornya.
“Kang. Ini aku punya kenalan. Dia dulu santriwati sini, tapi sekarang sudah kuliah di Malang. Yah, barangkali ada jalannya kamu bisa sama dia”. Katanya sambil memberikan sebuah nomer di dalam hapenya.
Aku masih diam, tak mampu menjawab dengan tawaran yang Arman berikan.
“Dia anaknya baik kok, Kang. InsyaAllah shalilah. Dulu, dia pernah bilang padaku kalau ingin dapat suami yang baik. Semoga saja kamu bisa berjodoh sama dia, hehe..”
Tiba-tiba ada orang yang mengetok pintu kamar. Tak lama kemudian pintu terbuka. Seorang santri masuk.
“Assalamualaikum. Maaf ustadz, ditimbali bu Nyai”.
“oh ya, aku segera kesana”. Sebelum melangkah keluar Arman menoleh padaku. “Pikirkan, Kang. Jangan kau sia-sia kan kesempatan yang ada di depan mata. Ingat, kesempatan tidak datang dua kali. Dan ingat juga, jarang-jarang loh aku mau berbuat baik memberikan nomer cewek cantik kepadamu. Pikirkan Kang. Aku pergi dulu sebentar” Katanya sambil menutup pintu lama.
Di depanku tergeletak Handphone Arman yang sedang menyala. Di dalamnya, tertulis sebuah nama beserta sebuah nomer telepon.
Azkiya

Roni Cool
4 April 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar