“Apa kamu yakin akan
tetap menunggunya, Kang?”.
Suara Arman membuyarkan
lamunanku. Dia datang sambil membawa sepiring weci hangat dan dua gelas Aqua yang
ia pesan dari kantin pondok. Hari ini aku pergi ke Dampit. Ke pondok Nasrudin
tempat Arman, sahabatku mengajar.
“ Ayo, Kang. Sambil dimakan”.
Aku mengambil satu weci yang masih hangat dan menggigitnya sebagian.
“Masih banyak gadis
lain disana, yang tentu masih lebih baik dari dia. Jangan kau siksa dirimu
dengan penantian yang tak berujung, Kang”.
“Ini bukan soal
penantian, Kang. Tapi ini soal janji”. Kataku Sambil menelan potongan weci
terakhir.
Semenjak masa kuliah
dulu. Aku dan Arman punya panggilan khas, Kang. Mungkin karena latar belakang
pondok pesantren sehingga kami lebih sering memanggil dengan Kang daripada
memanggil dengan nama, atau bahkan bukan dengan Bro atau Sob seperti yang
sedang ngetren saat ini.
“Janji. Janji jari
kelingking? Memangnya sampai kapan kamu akan tetap memegang janji itu. Apa dia
juga masih menepati janjinya. Buktinya, ia sudah pergi. Kemana dia sekarang?”
kata-katanya penuh semangat, menantang aku untuk menjawab. Tapi aku masih diam
“Kang, masa pacaran itu
memang kadang identik dengan janji-janji, yang manis-manis. Ada yang janji
setia, tak pernah mendua. Ada yang cinta sehidup semati. Tapi kalau sudah jalan
lama trus tengkar. Janji ya tinggal
janji”. Benar juga apa yang dikatakannya, pikirku dalam hati.
“Entahlah, Kang. Apa
aku ini memang bodoh. Atau aku yang terlalu polos dengan tetap percaya pada
janji itu. Aku sendiri tak tau. Bagiku, siapapun yang berjanji. Tetap harus di
tepati, entah aku ataupun dia”.
“Dengan menyiksa dirimu
seperti ini?”. Aku lihat kening Arman sedikit mengkerut. Aku tau dia kecewa
dengan sikapku.
“Kang, dengar. Tuhan itu
Maha Penyayang. Maha Pengasih. Tuhan itu tidak suka melihat hamba-Nya menyakiti
dirinya sendiri seperti ini. Rahmat Tuhan itu luas, Kang. Bumi itu tak Cuma
satu, ada banyak”. Dia berhenti sejenak untuk meminum Aqua gelasnya.
“Maksudnya, Kang?” aku
sedikit heran dengan perumpamaan yang ia ucapkan.
“Maksudnya, wanita yang
baik itu banyak. Nggak cuma satu. Nggak Cuma Yana. Masih banyak Yana-Yana lain
yang menunggu kedatanganmu. Menunggu kau sapa. Jangan kau lepas marmut di
tangan dengan harapan dapat marmut yang sedang terbang”
“Merpati, Kang”. Aku geli juga dengan perumpamaan yang ia buat
“Alah, podo ae.
Pokoknya. Jangan kau sia-siakan hidupmu, hanya untuk menunggu orang yang nggak
jelas seperti dia. Maaf ya Kang, kalau omonganku ini rada kasar. Biar kamu itu termotivasi.
Biar kamu nggak galau terus. Wanita kok dibuat galau. Kayak Nggak ada kerjaan
lain aja”
“Gayamu, Kang. Kayak nggak
pernah patah hati aja”. Kataku sambil melempar satu buah cabe yang ada di
piring ke arahnya.
Dia sedikit mengelak
dari lemparanku. “ Emangnya kapan aku pernah patah hati?”
“Halah. Dulu itu,
sewaktu pisah sama inisial A. Apa nggak galau”. Kataku sambil menaik-naikkan
alisku, menggodanya.
“ Itu dulu. Sekarang
kan udah Move On, Kang” katanya sambil tersenyum kecil. Nyindir aku ini.
“Cepet banget. Temenku
bilang, Kang. Dibalik Move on yang lambat. Pasti tersimpan mantan yang hebat.
Hehe...” tawaku penuh kemenangan.
“Halah. Prinsip gitu
dipake Kang..Kang. Pantesan aja angel move on nya. Harusnya tuh diganti. Dibalik
move on yang cepat, pasti ada wanita yang jauh lebih hebat, begitu. Haha..”
tawanya. Pokoknya, nggak bakalan menang kalau main perumpamaan sama Arman.
“Iya deh nyerah. ngaku kalah
aku. Tapi...” Sejenak aku berhenti, sedikit ragu untuk mengatakannya. Arman diam,
menunggu.
“Aku akan tetap pada
prinsipku, Kang. Memegang janji itu. Menunggunya” aku tak berani menatap Arman.
Aku tau dia kecewa padaku.
Lama kami saling diam.
Terdengar Arman menarik
nafas dalam. “Kang, sejujurnya aku nggak mau lihat kamu seperti itu, Kang. Rapuh.
Seperti tak ada harapan”. Nadanya terdengar datar.
“Dimana Roni Cool yang
dulu pernah aku kenal. Yang punya keinginan untuk keliling dunia. Dimana Roni
Cool, yang dulu pernah dengan lantangnya berkata padaku bahwa ia akan mencapai
impiannya itu meskipun orang lain tak percaya”
Terlihat Arman sangat
bersemangat. Aku masih diam, menunggu lanjutan kata-katanya.
“Dimana sahabatku yang
ceria dulu. Yang dengan keceriaannya itu suka menggoda adek kelas ketika di
kampus”
Aku sedikit tersenyum
dengan kata-katanya yang terakhir ini.
“Tuh kan. Kamu itu
sebenarnya bisa move on, Kang. Cuma kamu itu masih silau dengan kenangan masa
lalu. Masih dibayang-bayangi wajah Yana. Makanya, kalau kamu ketemuan. Jangan kamu
pelototin wajahnya. Jadinya begini deh. Sukar lupa. Hehe..” katanya dengan
senyum menyeringai.
“Ah, bisa aja kamu,
Kang”. Aku kembali tersenyum gara-gara humornya.
“Kang. Ini aku punya
kenalan. Dia dulu santriwati sini, tapi sekarang sudah kuliah di Malang. Yah,
barangkali ada jalannya kamu bisa sama dia”. Katanya sambil memberikan sebuah
nomer di dalam hapenya.
Aku masih diam, tak
mampu menjawab dengan tawaran yang Arman berikan.
“Dia anaknya baik kok,
Kang. InsyaAllah shalilah. Dulu, dia pernah bilang padaku kalau ingin dapat
suami yang baik. Semoga saja kamu bisa berjodoh sama dia, hehe..”
Tiba-tiba ada orang
yang mengetok pintu kamar. Tak lama kemudian pintu terbuka. Seorang santri
masuk.
“Assalamualaikum. Maaf ustadz,
ditimbali bu Nyai”.
“oh ya, aku segera
kesana”. Sebelum melangkah keluar Arman menoleh padaku. “Pikirkan, Kang. Jangan
kau sia-sia kan kesempatan yang ada di depan mata. Ingat, kesempatan tidak
datang dua kali. Dan ingat juga, jarang-jarang loh aku mau berbuat baik
memberikan nomer cewek cantik kepadamu. Pikirkan Kang. Aku pergi dulu sebentar”
Katanya sambil menutup pintu lama.
Di depanku tergeletak Handphone
Arman yang sedang menyala. Di dalamnya, tertulis sebuah nama beserta sebuah
nomer telepon.
Azkiya
Roni Cool
4 April 2014
Roni Cool
4 April 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar