Sudah dua tahun berlalu semenjak kejadian itu. Kalung ini masih
utuh. Tergantung di depan meja kamarku. Kalung berbentuk separuh hati.
Kalung yang hanya akan berbentuk sempurna, jika digabungkan dengan
bagian lainnya.
Hari Jum’at, Stasiun Kepanjen. Saat itu
tiba-tiba kamu menelepon aku untuk segera menemuimu. Kamu mau ke Ampel,
Surabaya. Waktu itu aku sedang kerja. Dan dengan diam-diam pergi keluar.
Hanya untuk menemuimu.
Kita sama-sama tau, waktu kita tak
banyak. Aku yang harus segera balik ke pekerjaan dan kamu yang sebentar
lagi akan naik kereta.
Di bangku paling utara, dekat Mushalla.
Aku melihatmu. Sendirian, memainkan Handphone imutmu dengan gantungan
tali berwarna ungu. Tampak gelisah. Tak jauh darimu, aku melihat Mbak
Nia, kakakmu sedang bercanda dengan Udin. Aku hampiri mereka untuk
sekedar menyapa, namun Mbak Nia menyuruhku untuk segera menemuimu.
Perlahan aku berjalan ke bangkumu. Aku yakin, pasti kamu tau
kehadiranku. Namun kamu tetap tak bergeming, terus melihat ke depan, tak
sedikitpun menoleh ke arahku. Aku paham maksudmu. Aku tak akan protes.
Segera aku duduk di sampingmu. Seperti biasa, tanpa jabat tangan.
“ Assalamu’alaikum. Dek. Udah lama?” aku memulai pembicaraan.
“Wa’alaikum salam, Cak. Lumayan.” Hanya itu. Kebiasaanmu. Tak banyak bicara. Dan tetap tak mau menoleh kepadaku.
“Ada apa, tiba-tiba menyuruh aku kesini?” tanyaku.
“Nggak. Nggak ada apa-apa” katamu suram. Sambil terus memencet Hape
seakan-akan sedang menulis SMS. Kamu masih begitu. Tak akan dengan mudah
menceritakan masalah.
“Aku ngerti pean. Kamu tak akan menelepon
jika tak ada yang penting. Apalagi sampai menyuruhku datang kesini. Coba
ceritakan, ada apa” kataku. Kali ini aku memandangmu.
“Sudah aku
bilang, aku nggak apa-apa Cak. Kalau aku bilang aku nggak apa-apa, ya
nggak apa-apa” katamu sedikit lebih nyaring dari yang tadi. Aku sedikit
kaget. Kali ini kamu menoleh padaku. Keningmu mengkerut. Aku melihat
matamu sedikit berkaca-kaca meskipun terhalang oleh kacamatamu. Sejenak
mata kita bertemu.
“Ya sudah. Kalau memang nggak mau cerita, nggak apa-apa. Tapi, boleh aku minta sesuatu?” kataku mengalihkan pembicaraan.
“Apa?”
“Keretamu nanti datang jam 09.45 dan sekarang jam 09.15. Masih ada
waktu sekitar setengah jam untuk kita bersama. Ayo jalan-jalan keluar”
ajakku sambil melihat jam di layar Hapeku.
“Kemana?”.
“Nggak
jauh koq. Cuma jalan-jalan ke toko di sebelah jomplangan” kataku.
Kemudian sambil berdiri aku memandangmu. Kamu tak langsung berdiri.
Mungkin masih ragu. Tapi tak lama kemudian kamu ikut berdiri. Aku
berjalan ke arah pintu keluar. Dan kamu ada di belakangku. Saat melewati
Mbak Nia, aku memberikan isyarat padanya. Dia hanya mengangguk, paham
akan maksudku.
Reborn Shop. Toko di sebelah jomplangan rel
kereta api. Menjual aneka macam assesoris. Saat masuk, kami disambut
penjaga toko. Di dalam, ada dua orang pemuda yang sedang memilih ikat
pinggang dengan model ala punk.
Yang aku pikirkan pertama kali,
aku ingin membelikanmu cincin. Tapi itu tak mungkin. Karena aku tak bisa
memakai cincin. Aku ingin memberikan sesuatu yang aku dan kamu bisa
sama-sama memiliki. Dan aku melihat sebuah kalung yang berbentuk hati
yang dapat dipisah untuk dijadikan dua. Separuh hati untukku dan separuh
hati untukmu.
“ kalung ini melambangkan hati kita. Separuh
hatiku ada pada pean dan separuh hati pean ada padaku”. Aku memasukkan
kalung itu ke dalam saku bajuku dan kamu langsung memakainya.
Dalam perjalanan kamu masih diam. Tetap tak mau bicara. Iseng, aku
pura-pura pinjam Hapemu. Maksudku untuk mencairkan suasana agar kamu mau
bicara. Tapi tiba-tiba ada sms masuk. saat aku buka, dan memang sengaja
aku membukanya. Ada sebuah pesan . Dari Kak Kharis.
<Aku masih menunggu jawabanmu Yana. Sampai kapanpun aku tetap akan mencintaimu>
Serasa langit runtuh. Jantungku berdetak kencang. Nafasku memburu. Marah.
“oh, gitu ya. Ternyata di belakang pean begitu” tanyaku dengan nada menahan amarah.
“Maksudnya?” kamu kelihatan heran.
“Maksudku, apa yang dimaksud dengan SMS ini?” sambil menunjukkan pesan itu padamu.
“Cak. Itu Cuma..itu Cuma..”
“Cuma apa...pacar baru?? Ternyata begitu ya dek. Aku selalau percaya
pada pean. Tapi kenapa pean main di belakangku. Aku kecewa pada pean
Dek” kataku melangkah meninggalkannya ke stasiun.
Kamu mengejarku.
“Cak, dengerin dulu”. Seraya menarik lenganku.
Pertama aku acuh. Tapi karena kamu terus menarik lenganku. Akupun berhenti.
“Apa? Semua sudah jelas koq”
“ Cak. Dengerin dulu. Aku mau cerita tentang itu pada pean. Tapi aku
bingung harus mulai dari mana. Sungguh. Aku tak pernah menghianati
pean”.
“ Oh ya, trus siapa Kak Kharis itu. Pake bilang cinta-cintaan
segala. Kalau bukan pacar mana mugkin bilang cinta. Jawab aja ‘iya’.
Pean juga suka dia kan?”.
“ Cak...”suaramu nyaring. Membuat Orang-orang di pinggir jalan menoleh ke arah kita. Aku kaget. Diam. Malu.
“ Cak. Aku tak pernah dan tak akan pernah menghianati pean. Karena aku
sudah berjanji dengan pean. Aku masih ingat janji kita. janji jari
kelingking kita” katamu sambil menunjukkan jari kelingkingmu. “ Cak. Kak
Kharis itu temannya Mbak Nia. Aku sudah menganggapnya sebagai kakakku
dan aku tak ada perasaan apa-apa sama dia”.
“Tak ada perasaan apa-apa tapi koq bilang cinta?” kataku membantah.
“Tadi malam dia nembak aku. Aku sudah bilang kalau aku sudah punya pean. Tapi tetap saja dia ngotot”
“Kenapa nggak pean terima aja”jawabku rada ketus. Jujur, aku marah padamu.
“ Aku nggak mau Cak. Aku sudah bilang pada dia aku nggak mau. Nanti
kalau aku sudah di Ampel akan aku ceritakan semuanya pada pean. Dan satu
lagi, aku tak mau karena aku...” katamu. Tanpa meneruskan. Kamu
terlihat bingung.
“Karena apa? Karena takut ada aku” kataku memaksa.
“Bukan. Karena aku...sayang...sama pean” sambil memalingkan wajah ke
arah lain. Hampir tak terdengar. Kamu yang jarang mengatakan cinta
padaku. Bahkan melalui SMS sekalipun. Kini kamu mengatakannya langsung
kepadaku. Di depanku. Seakan-akan aku merasa ditembak olehmu. Aku tak
kuasa menyembunyikan senyumku.
“Apa? Ulangi lagi” iseng aku menggodanya.
“Gak Mau” katamu. Sambil berjalan pergi ke arah Stasiun.
aku mengejarmu dan sepanjang jalan aku tetap memintamu untuk mengulangi
kata-kata itu. Sekali lagi. Tapi tetap saja kamu tak mau.
Kereta datang tak lama setelah kita masuk ke Stasiun. Kamu, Mbak Nia dan
Udin bersiap-siap naik kereta di pinggir rel. Aku ada disampingmu.
Serasa tak ingin dipisahkan. Sebelum naik, kamu bilang sesuatu padaku
“Cak. Kalau sudah di Ampel. Pean minta di doakan apa?”
“Aku minta. Semoga Tuhan mau mengembalikan pemilik kalung separuh hati
yang lain kepadaku.” Kataku sambil mengambil kalung itu dari sakuku.
“Amin” jawabmu sambil memegang kalung separuh hati yang kamu kenakan.
Tak lama kereta berhenti dan kamu naik ke dalam. Aku berharap kamu
akan duduk di pinggir jendela sehingga aku bisa melihatmu untuk terakhir
kalinya. Tapi harapan mungkin hanya tinggal harapan. Sampai kereta
berjalan. Aku tak melihatmu. Tak terpikir olehku, bahwa pertemuan itu
adalah pertemuan terakhir antara aku dan kamu.
Yang tersisa hanya aku dan kalung separuh hati. Disini. Di Stasiun Kepanjen.
Roni Cool
22 Maret 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar