Sudah dua tahun berlalu semenjak kejadian itu. Kalung ini masih
utuh. Tergantung di depan meja kamarku. Kalung berbentuk separuh hati.
Kalung yang hanya akan berbentuk sempurna, jika digabungkan dengan
bagian lainnya.
Hari Jum’at, Stasiun Kepanjen. Saat itu
tiba-tiba kamu menelepon aku untuk segera menemuimu. Kamu mau ke Ampel,
Surabaya. Waktu itu aku sedang kerja. Dan dengan diam-diam pergi keluar.
Hanya untuk menemuimu.
Kita sama-sama tau, waktu kita tak
banyak. Aku yang harus segera balik ke pekerjaan dan kamu yang sebentar
lagi akan naik kereta.
Di bangku paling utara, dekat Mushalla.
Aku melihatmu. Sendirian, memainkan Handphone imutmu dengan gantungan
tali berwarna ungu. Tampak gelisah. Tak jauh darimu, aku melihat Mbak
Nia, kakakmu sedang bercanda dengan Udin. Aku hampiri mereka untuk
sekedar menyapa, namun Mbak Nia menyuruhku untuk segera menemuimu.
Perlahan aku berjalan ke bangkumu. Aku yakin, pasti kamu tau
kehadiranku. Namun kamu tetap tak bergeming, terus melihat ke depan, tak
sedikitpun menoleh ke arahku. Aku paham maksudmu. Aku tak akan protes.
Segera aku duduk di sampingmu. Seperti biasa, tanpa jabat tangan.
“ Assalamu’alaikum. Dek. Udah lama?” aku memulai pembicaraan.
“Wa’alaikum salam, Cak. Lumayan.” Hanya itu. Kebiasaanmu. Tak banyak bicara. Dan tetap tak mau menoleh kepadaku.
“Ada apa, tiba-tiba menyuruh aku kesini?” tanyaku.
“Nggak. Nggak ada apa-apa” katamu suram. Sambil terus memencet Hape
seakan-akan sedang menulis SMS. Kamu masih begitu. Tak akan dengan mudah
menceritakan masalah.
“Aku ngerti pean. Kamu tak akan menelepon
jika tak ada yang penting. Apalagi sampai menyuruhku datang kesini. Coba
ceritakan, ada apa” kataku. Kali ini aku memandangmu.
“Sudah aku
bilang, aku nggak apa-apa Cak. Kalau aku bilang aku nggak apa-apa, ya
nggak apa-apa” katamu sedikit lebih nyaring dari yang tadi. Aku sedikit
kaget. Kali ini kamu menoleh padaku. Keningmu mengkerut. Aku melihat
matamu sedikit berkaca-kaca meskipun terhalang oleh kacamatamu. Sejenak
mata kita bertemu.
“Ya sudah. Kalau memang nggak mau cerita, nggak apa-apa. Tapi, boleh aku minta sesuatu?” kataku mengalihkan pembicaraan.
“Apa?”
“Keretamu nanti datang jam 09.45 dan sekarang jam 09.15. Masih ada
waktu sekitar setengah jam untuk kita bersama. Ayo jalan-jalan keluar”
ajakku sambil melihat jam di layar Hapeku.
“Kemana?”.
“Nggak
jauh koq. Cuma jalan-jalan ke toko di sebelah jomplangan” kataku.
Kemudian sambil berdiri aku memandangmu. Kamu tak langsung berdiri.
Mungkin masih ragu. Tapi tak lama kemudian kamu ikut berdiri. Aku
berjalan ke arah pintu keluar. Dan kamu ada di belakangku. Saat melewati
Mbak Nia, aku memberikan isyarat padanya. Dia hanya mengangguk, paham
akan maksudku.
Reborn Shop. Toko di sebelah jomplangan rel
kereta api. Menjual aneka macam assesoris. Saat masuk, kami disambut
penjaga toko. Di dalam, ada dua orang pemuda yang sedang memilih ikat
pinggang dengan model ala punk.
Yang aku pikirkan pertama kali,
aku ingin membelikanmu cincin. Tapi itu tak mungkin. Karena aku tak bisa
memakai cincin. Aku ingin memberikan sesuatu yang aku dan kamu bisa
sama-sama memiliki. Dan aku melihat sebuah kalung yang berbentuk hati
yang dapat dipisah untuk dijadikan dua. Separuh hati untukku dan separuh
hati untukmu.
“ kalung ini melambangkan hati kita. Separuh
hatiku ada pada pean dan separuh hati pean ada padaku”. Aku memasukkan
kalung itu ke dalam saku bajuku dan kamu langsung memakainya.
Dalam perjalanan kamu masih diam. Tetap tak mau bicara. Iseng, aku
pura-pura pinjam Hapemu. Maksudku untuk mencairkan suasana agar kamu mau
bicara. Tapi tiba-tiba ada sms masuk. saat aku buka, dan memang sengaja
aku membukanya. Ada sebuah pesan . Dari Kak Kharis.
<Aku masih menunggu jawabanmu Yana. Sampai kapanpun aku tetap akan mencintaimu>
Serasa langit runtuh. Jantungku berdetak kencang. Nafasku memburu. Marah.
“oh, gitu ya. Ternyata di belakang pean begitu” tanyaku dengan nada menahan amarah.
“Maksudnya?” kamu kelihatan heran.
“Maksudku, apa yang dimaksud dengan SMS ini?” sambil menunjukkan pesan itu padamu.
“Cak. Itu Cuma..itu Cuma..”
“Cuma apa...pacar baru?? Ternyata begitu ya dek. Aku selalau percaya
pada pean. Tapi kenapa pean main di belakangku. Aku kecewa pada pean
Dek” kataku melangkah meninggalkannya ke stasiun.
Kamu mengejarku.
“Cak, dengerin dulu”. Seraya menarik lenganku.
Pertama aku acuh. Tapi karena kamu terus menarik lenganku. Akupun berhenti.
“Apa? Semua sudah jelas koq”
“ Cak. Dengerin dulu. Aku mau cerita tentang itu pada pean. Tapi aku
bingung harus mulai dari mana. Sungguh. Aku tak pernah menghianati
pean”.
“ Oh ya, trus siapa Kak Kharis itu. Pake bilang cinta-cintaan
segala. Kalau bukan pacar mana mugkin bilang cinta. Jawab aja ‘iya’.
Pean juga suka dia kan?”.
“ Cak...”suaramu nyaring. Membuat Orang-orang di pinggir jalan menoleh ke arah kita. Aku kaget. Diam. Malu.
“ Cak. Aku tak pernah dan tak akan pernah menghianati pean. Karena aku
sudah berjanji dengan pean. Aku masih ingat janji kita. janji jari
kelingking kita” katamu sambil menunjukkan jari kelingkingmu. “ Cak. Kak
Kharis itu temannya Mbak Nia. Aku sudah menganggapnya sebagai kakakku
dan aku tak ada perasaan apa-apa sama dia”.
“Tak ada perasaan apa-apa tapi koq bilang cinta?” kataku membantah.
“Tadi malam dia nembak aku. Aku sudah bilang kalau aku sudah punya pean. Tapi tetap saja dia ngotot”
“Kenapa nggak pean terima aja”jawabku rada ketus. Jujur, aku marah padamu.
“ Aku nggak mau Cak. Aku sudah bilang pada dia aku nggak mau. Nanti
kalau aku sudah di Ampel akan aku ceritakan semuanya pada pean. Dan satu
lagi, aku tak mau karena aku...” katamu. Tanpa meneruskan. Kamu
terlihat bingung.
“Karena apa? Karena takut ada aku” kataku memaksa.
“Bukan. Karena aku...sayang...sama pean” sambil memalingkan wajah ke
arah lain. Hampir tak terdengar. Kamu yang jarang mengatakan cinta
padaku. Bahkan melalui SMS sekalipun. Kini kamu mengatakannya langsung
kepadaku. Di depanku. Seakan-akan aku merasa ditembak olehmu. Aku tak
kuasa menyembunyikan senyumku.
“Apa? Ulangi lagi” iseng aku menggodanya.
“Gak Mau” katamu. Sambil berjalan pergi ke arah Stasiun.
aku mengejarmu dan sepanjang jalan aku tetap memintamu untuk mengulangi
kata-kata itu. Sekali lagi. Tapi tetap saja kamu tak mau.
Kereta datang tak lama setelah kita masuk ke Stasiun. Kamu, Mbak Nia dan
Udin bersiap-siap naik kereta di pinggir rel. Aku ada disampingmu.
Serasa tak ingin dipisahkan. Sebelum naik, kamu bilang sesuatu padaku
“Cak. Kalau sudah di Ampel. Pean minta di doakan apa?”
“Aku minta. Semoga Tuhan mau mengembalikan pemilik kalung separuh hati
yang lain kepadaku.” Kataku sambil mengambil kalung itu dari sakuku.
“Amin” jawabmu sambil memegang kalung separuh hati yang kamu kenakan.
Tak lama kereta berhenti dan kamu naik ke dalam. Aku berharap kamu
akan duduk di pinggir jendela sehingga aku bisa melihatmu untuk terakhir
kalinya. Tapi harapan mungkin hanya tinggal harapan. Sampai kereta
berjalan. Aku tak melihatmu. Tak terpikir olehku, bahwa pertemuan itu
adalah pertemuan terakhir antara aku dan kamu.
Yang tersisa hanya aku dan kalung separuh hati. Disini. Di Stasiun Kepanjen.
Roni Cool
22 Maret 2014
Sabtu, 22 Maret 2014
Selasa, 11 Maret 2014
BISNIS ITU IBADAH, TAPI BUKAN “MEMBISNISKAN” IBADAH
Tadi malam aku ikut seminar
“Social Spiritual Entrepeneur” bersama Ridwan Abadi ( Owner Batagor Jepang ) di
Islamic Book Fair, Malang. Dalam seminar itu Mas Ridwan berkata, kalau bisnis
itu tak bisa dilepaskan dari yang namanya ibadah. Bisnis dan Ibadah adalah dua
hal yang saling melengkapi. “Bisnis itu adalah ibadah dan ibadah itu bisa
melalui bisnis”. Tidak seperti apa yang dikatakan oleh para pebisnis beraliran
kapitalis, bahwa bisnis dan ibadah itu berbeda. “ Bisnis ya bisnis, ibadah ya
ibadah, jangan dicampuradukkan”.
Dosenku
di STAI Kepanjen, Mr. DR. Taufiqi Bravo ( Owner “Bravo VIEC” , Malang ) juga mengatakan.
Bisnis adalah sarana ibadah kita untuk dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya
kepada sebanyak-banyaknya manusia di muka bumi ini. Jadi, lewat bisnis kita
juga dapat beribadah.
Aku
tidak akan membantah kedua pendapat diatas, karena kedua-duanya aku amini.
Bisnis itu ibadah dan ibadah itu bisnis. Yang akan kita coba diskusikan dalam
tulisan kali ini adalah bagaiamana jika“MESBISNISKAN” IBADAH.
Beberapa
waktu yang lalu di desaku, Bulupitu. Ada sebuah pengajian yang mendatangkan seorang
Ustadz yang berdakwah dengan cara yang luar biasa ( tak perlu aku sebutkan
namanya dan cara dakwahnya ). Dari cara dakwahnya yang luar biasa itu banyak
warga yang kagum terhadap sosok Ustadz ini. Sehingga banyak warga yang
mengharapkan beliau hadir lagi dalam pengajian yang akan diadakan tahun
berikutnya.
Pucuk
bersambut, Ustadz ini akan hadir lagi ke Bulupitu. Kali ini akan singgah ke
rumah salah satu saudaraku. Betapa senangnya dia karena rumahnya akan
kedatangan seorang ustadz yang menjadi
“idola baru” di desaku ini. Saudaraku itu juga mendapat pesan dari sang Ustadz
untuk mengajak orang sebanyak-banyaknya pada acara yang akan diselenggrakan
nanti. Pikirku Ustadz itu akan mengadakan pengajian lagi. Tapi itu salah.
Mulanya
memang sang Ustadz memberikan “Mauidah Hasanah”. Tapi lama kelamaan, “mauidhah”
itu sedikit demi sedikit melenceng ke arah lain. Ujung-ujungnya, sang Ustadz
memperkenalkan salah satu minuman yang katanya dapat menyembuhkan berbagai
macam penyakit. Cukup minum satu tutup botol saja tiap hari. Maka penyakit yang
diderita akan segera hilang.
Dari
sini aku sudah dapat menebak, kemana arah “mauidah” ini akan berakhir. Karena,
dilihat dari merk yang ada dalam kemasan botol minuman itu (yang tidak ada
Arab-arabnya sama sekali) dan juga dari cara bicara sang ustadz. Pasti ini akan
menjurus keranah komersil.
Ternyata
benar. Ustadz itu menawarkan kepada setiap orang yang ingin mendapatkan minuman
itu untuk bergabung ke dalam sebuah sistem. Cukup dengan memberikan uang
sebesar Rp. 150.000, maka dia akan mendapatkan minuman itu beserta satu set
“petunjuk” produk kesehatan lainnya.
Dan jika orang itu sudah
bergabung, maka dia boleh menjual minuman itu kepada orang lain atau mengajak
orang lain untuk ikut bergabung dalam sistem ini. Semakin banyak orang lain yang
diajak masuk dan mau bergabung dalam sistem ini, maka semakin besar bonus yang
akan dia dapatkan kelak. Satu hal yang dapat aku simpulkan dari “mauidhah
hasanah” ini, MLM.
Ya, Ustadz itu telah
“membisniskan” ibadah. Mengkomersilkan dakwah dan memanfaatkan ketokohan dalam dirinya
untuk mendapatkan keuntungan. Tidak salah memang. Tapi sayang, tidak
menempatkan sesuatu pada tempatnya. Ketika kami datang berduyun-duyun untuk
mendengarkan ceramahnya, syukur-syukur jika beliau mau melakukan dakwahnya yang
luar biasa sekali lagi. Tetapi bukan itu yang kami dapatkan, tetapi sebuah
“tawaran” produk yang sebenarnya tidak kami butuhkan.
Sudah ada beberapa
orang yang ikut bergabung dalam “bisnis” ini. Termasuk saudaraku. Aku
menganggapnya mereka itu “korban”. Korban karena rasa kekaguman mereka pada
sosok sang Ustadz, yang menurut anggapan mereka adalah orang yang baik, alim
dan tak mungkin menjerumuskan mereka ke dalam hal-hal yang merugikan, sehingga
mereka percaya dan ikut masuk dalam sistem ini. Namanya juga orang desa, lugu.
Jika ada orang yang berpakaian putih-putih terus berkopyah putih, apalagi itu
seorang Ustadz. Pasti langsung dipercaya.
Tak salah memang mereka
masuk dalam MLM ini. Itu hak mereka. Mungkin juga ada beberapa orang yang
berpendapat bahwa, orang yang bergabung itu juga tidak dirugikan karena sudah mendapatkan
apa yang diinginkan, yaitu minuman itu. Tapi bagiku, tetap saja orang itu telah
tertipu. Meskipun secara tidak langsung dan halus sekali. Semua itu memang cara
yang digunakan oleh MLM untuk menggaet calon customernya. Seakan-akan baik,
tapi ada maksud yang tersembunyi di belakangnya. Entah kenapa aku menganggapnya
itu sebagai sebuah penipuan. (hal ini pernah aku bahas dalam tulisan yang
berjudul “ MELIA dan MLM”).
Kini, setelah beberapa
waktu berlalu. Sang Ustadz tidak pernah lagi datang ke Bulupitu. Dan “bisnis”
itu, yang menjanjikan bonus bermilyar-milyar dan juga jalan-jalan ke luar
negeri. Mandeg di tengah jalan. Entah, bagaimana nasib orang yang telah
“termakan” ajakan Sang Ustadz itu.
Sayang memang, jika ada
orang yang memanfaatkan ketokohannya untuk mendapatkan sebuah keuntungan. Atau
bahkan, memanfaatkan ketokohan orang lain untuk maksud yang tidak semestinya.
Yang sering aku temui,
ada orang yang bilang bahwa, Aa Gym telah memulai bisnis ini atau Aa Gym juga
telah ikut dalam bisnis ini dan sekarang bisa dilihat kalau Aa Gym telah
sukses. Begitu juga, ada yang menggunakan nama Ustadz Yusuf Mansyur, katanya
beliau telah memulai bisnis itu. Siapa yang ikut bisnis itu maka tak hanya
keuntungan duniawi yang di dapat tapi juga keberkahan pahala nanti di akhirat.
Pertanyaannya, benarkah
itu semua dari mereka?. Setau saya, (baik Aa Gym maupun Ustadz Yusuf Mansyur) “bisnis”
mereka itu berbasis dakwah dan telah dikenal oleh banyak kalangan masyarakat.
Seperti MQ ( Manajemen Qolbu) Aa Gym atau PPIQ nya Ustadz Yusuf mansyur.
Semuanya berbasis dakwah. Kalau dilihat lagi, sepertinya tak bertujuan untuk
mencari keuntungan.
Jadi, kalau sekarang
ada “bisnis” yang mengatasnamakan mereka dan belum dikenal oleh orang banyak. Bisnis
ini perlu dipertanyakan keafdolannya. Jangan-jangan hanya mendompleng nama saja
atau memanfaatkan ketokohan mereka. Jika itu memang benar, maka dalam hal ini,
sepertinya aku setuju pada para pebisnis kapitalis itu.“ Bisnis ya bisnis,
ibadah ya ibadah, jangan dicampuradukkan”.
STOP “Membisniskan”
Ibadah!.
Salam Respect
Roni Cool
Roni Cool
11 Maret 2014
Sabtu, 08 Maret 2014
AKU dan ULANG TAHUNKU
Ulang
tahun. Semua orang punya hari ulang tahun. Setiap tahun, setiap orang pasti
“merayakan” ulang tahun. Meskipun tak secara meriah, walau hanya diingat saja,
itu sudah cukup sebagai perayaan ulang tahun. Tapi tidak dengan aku. Kenapa? Karena
aku gak punya hari ulang tahun. Loh koq bisa?
Kedua
orang tuaku memang bisa dibilang tak pernah mengenyam pendidikan, dulu, hanya
ayahku yang mengenyam dunia pendidikan, itupun dari pondok pesantren, sehingga
dalam tulis menulis mereka kurang begitu menguasai. Apalagi ibu, membaca pun
beliau hampir tidak bisa. Itu aku tau ketika adekku yang kecil minta dibawakan
bukunya yang ketinggalan. Bukan buku satu yang dibawa. Tapi semua. Karena katanya,
ibu tak bisa membaca.
Karena
latar belakang orang tuaku yang seperti itulah sehingga hari lahirku tak pernah
ada yang mencatat. Apalagi di ingat. Zaman dulu, orang tuaku hanya mengingat
siapa yang lahir “hampir” bersamaan dengan aku. Istilahnya sebaya. Jadi
misalnya, ada anak yang lahir di bulan rajab, kemudian bulan berikutnya aku
lahir, maka anak itulah yang jadi patokan. Artinya aku sebaya dengan anak itu,
tapi tak pernah dicatat tanggal lahir apalagi tahunnya. Sehingga sampai
sekarang aku tak pernah tau tanggal lahirku.
Tiap
aku tanya pada bapak atau ibu, pasti Cuma dibilang, “oh, kamu itu sebaya dengan
“ini”, jadi tanya sama ibunya dia aja”. Nah, masalahnya, anak yang jadi patokan
itu sudah meninggal dan ibunya sudah tak ingat lagi kapan anaknya lahir. Wes,
tambah gak jelas.
Nasib
seperti ini tak hanya dialami oleh aku saja. Bahkan adekku yang pertama juga
begitu. Karena hari lahir adekku berjarak hanya beberapa tahun denganku,
nasibnya pun sama. Tak pernah tau tanggal lahirnya. Hingga sekarang. Trus bagaimana
dengan tanggal lahir di Ijazah maupun di KTP?. Itu ceritanya begini.
Suatu
hari, ketika mau lulusan SD. Guruku meminta aku untuk mengumpulkan akte
kelahiran. Karena aku tak punya tanggal lahir, jelas aku tak punya akte
kelahiran. Karena bertanya kepada bapak ibu pun percuma, jadi aku lihat saja di
kartu keluarga. Aku buka kartu keluarga, ternyata ada tanggalnya. Pas aku tanya
pada bapak, katanya tanggal itupun juga ngawur. Dulu pas bapak ditanyai petugas
pencatat tentang tanggal lahirku. Beliau jawabnya tak tau, maka petugas
pencatat itupun membuat tanggal lahir secara acak. Jadilah 17 Juni 1989 adalah hari
lahirku. Jadi, tanggal lahirku adalah hasil kongkalikong antara bapak dan
petugas pencatat sensus.
Jadi
intinya, bagi kalian yang punya hari ulang tahun. Bersyukurlah. Meskipun tak
ada yang merayakan ataupun ngasih ucapan selamat. Kalian beruntung, masih bisa
tau hari lahir kalian. Andaikan ada mesin waktu di doraemon. Kalian bisa menuju
ke tanggal itu, persis ketika kalian lahir. So, happy birthday untuk yang punya
hari lahir.
Roni Cool.
08 Maret 2014
Roni Cool.
08 Maret 2014
KISAH MATAHARI YANG GAK MAU TERBIT
Pada
suatu hari, di pagi yang cerah. Ayam berkokok sudah berkali-kali. Tapi matahari
tak kunjung terbit juga. Ada apa gerangan, kemana perginya matahari?.
Bulan
dan bintang pun juga heran. Kemana perginya sahabat mereka itu, sehingga tak
muncul pagi ini. Mereka pun mencari, dimana matahari berada.
Akhirnya
mereka menemukan matahari, sedang duduk termenung sendirian.
“ matahari, kenapa kamu gak terbit?” tanya bulan.
“ eh bulan. Iya nih, aku males mau terbit” jawab matahari.
“ Loh, kenapa” tanya bintang.
“ Soalnya, tiap kali aku terbit, gak pernah ada manusia yang bilang terimakasih sama aku. Padahal kan aku sudah capek-capek terbitnya, aku jadi males kalau gitu” jawab matahari.
“ Jangan begitu dong, matahari. Meski manusia gak pernah bilang terimakasih sama kamu. Tapi kamu tetap harus terbit. Coba pikir, bagaimana nasib mereka jika kamu gak terbit?” tanya bulan
“ matahari, kenapa kamu gak terbit?” tanya bulan.
“ eh bulan. Iya nih, aku males mau terbit” jawab matahari.
“ Loh, kenapa” tanya bintang.
“ Soalnya, tiap kali aku terbit, gak pernah ada manusia yang bilang terimakasih sama aku. Padahal kan aku sudah capek-capek terbitnya, aku jadi males kalau gitu” jawab matahari.
“ Jangan begitu dong, matahari. Meski manusia gak pernah bilang terimakasih sama kamu. Tapi kamu tetap harus terbit. Coba pikir, bagaimana nasib mereka jika kamu gak terbit?” tanya bulan
“
memangnya kenapa lan?” tanya matahari
“ kalau kamu gak terbit. Orang-orang tidak akan bangun. Anak-anak tidak bisa berangkat sekolah. Ayah tidak bisa pergi bekerja dan ibu tidak bisa masak buat sarapan mereka” kata bulan menerangkan.
“ kalau kamu gak terbit. Orang-orang tidak akan bangun. Anak-anak tidak bisa berangkat sekolah. Ayah tidak bisa pergi bekerja dan ibu tidak bisa masak buat sarapan mereka” kata bulan menerangkan.
“
biarin ah, biar mereka kapok. Salah sendiri gak pernah bilang terimakasih” kata
matahari dengan agak angkuh.
“ matahari yang baik. Meskipun manusia gak pernah bilang terimakasih, yang penting kita tetap harus bisa memberikan manfaat buat mereka” kata bulan.
“ manfaat, manfaat apa?” tanya matahari heran.
“ iya matahari. Misalnya aku, bulan. Dengan adanya aku, malam hari menjadi lebih indah dan anak-anak bisa bermain di bawah sinarku. Bernyanyi, tertawa. Bagiku itu sangat menyenangkan” kata bulan sambil tersenyum.
“ aku pun juga” kata bintang menambahi. “Para nelayan biasanya menggunakan aku sebagai penunjuk arah. Ketika mereka mencari ikan di malam hari. Mereka gak pernah bilang terimakasih padaku. Tapi aku sudah senang”
“kenapa kalian senang, padahal manusia gak pernah berterimakasih pada kalian?” tanya matahari.
“Matahari, dengan melihat senyum mereka, bagi kami itu sudah cukup. Bukankah memberi itu harus tanpa pamrih, tanpa mengharap balasan apa-apa” kata bulan.
“iya matahari, yang penting kita tetap bisa memberikan manfaat buat mereka. Suatu hari nanti, pasti ada kok manusia yang berterimakasih pada kita” kata bintang sambil tersenyum.
“hmm. Kalau begitu, aku mau terbit saja ah. Biar bisa menyinari mereka dan biar bisa melihat senyum mereka” kata matahari penuh semangat.
“ nah, begitu donk. Ayo cepetan. Nanti anak-anak terlambat sekolah loh” kata bulan.
“ Ok. Bulan, bintang, aku pergi dulu ya. Terimakasih atas nasehatnya” kata matahari sambil berlalu dari tempat itu.
“ sama-sama” jawab bulan dan bintang bersama-sama.
***
“ matahari yang baik. Meskipun manusia gak pernah bilang terimakasih, yang penting kita tetap harus bisa memberikan manfaat buat mereka” kata bulan.
“ manfaat, manfaat apa?” tanya matahari heran.
“ iya matahari. Misalnya aku, bulan. Dengan adanya aku, malam hari menjadi lebih indah dan anak-anak bisa bermain di bawah sinarku. Bernyanyi, tertawa. Bagiku itu sangat menyenangkan” kata bulan sambil tersenyum.
“ aku pun juga” kata bintang menambahi. “Para nelayan biasanya menggunakan aku sebagai penunjuk arah. Ketika mereka mencari ikan di malam hari. Mereka gak pernah bilang terimakasih padaku. Tapi aku sudah senang”
“kenapa kalian senang, padahal manusia gak pernah berterimakasih pada kalian?” tanya matahari.
“Matahari, dengan melihat senyum mereka, bagi kami itu sudah cukup. Bukankah memberi itu harus tanpa pamrih, tanpa mengharap balasan apa-apa” kata bulan.
“iya matahari, yang penting kita tetap bisa memberikan manfaat buat mereka. Suatu hari nanti, pasti ada kok manusia yang berterimakasih pada kita” kata bintang sambil tersenyum.
“hmm. Kalau begitu, aku mau terbit saja ah. Biar bisa menyinari mereka dan biar bisa melihat senyum mereka” kata matahari penuh semangat.
“ nah, begitu donk. Ayo cepetan. Nanti anak-anak terlambat sekolah loh” kata bulan.
“ Ok. Bulan, bintang, aku pergi dulu ya. Terimakasih atas nasehatnya” kata matahari sambil berlalu dari tempat itu.
“ sama-sama” jawab bulan dan bintang bersama-sama.
***
Akhirnya,
mataharipun terbit dengan penuh ceria. Memancarkan sinarnya yang hangat ke
seluruh penjuru dunia. Kemunculan matahari disambut dengan suka cita oleh
manusia di bumi.
“ ayah, ayah, lihat mataharinya sudah terbit” kata seorang anak menunjuk ke arah matahari muncul.
“ Alhamdulillah, mataharinya terbit. Hari ini pasti cerah. Terimakasih Tuhan. Terimakasih matahari” kata ayah.
“ Terimakasih matahari” kata anak itu diiringi senyumnya yang riang.
Diatas, matahari tersenyum kepada mereka. Hatinya sangat senang melihat mereka gembira dan bilang terimakasih padanya. Kini matahari berjanji, tidak akan malas lagi untuk terbit di pagi hari.
Roni Cool
04 Maret 2014
“ ayah, ayah, lihat mataharinya sudah terbit” kata seorang anak menunjuk ke arah matahari muncul.
“ Alhamdulillah, mataharinya terbit. Hari ini pasti cerah. Terimakasih Tuhan. Terimakasih matahari” kata ayah.
“ Terimakasih matahari” kata anak itu diiringi senyumnya yang riang.
Diatas, matahari tersenyum kepada mereka. Hatinya sangat senang melihat mereka gembira dan bilang terimakasih padanya. Kini matahari berjanji, tidak akan malas lagi untuk terbit di pagi hari.
Roni Cool
04 Maret 2014
ANTARA AKU, CINTA DAN SAHABATKU Begins.
Pertama
kali melihat dia. Lucu, rada endut, embem. Aah ngegemesin banget. Setiap ketemu
pasti ketawa. Dan senyum khasnya itu yang bikin aku kangen, selalu ingin
bertemu dengan dia. Kalau kata orang, salah satu hal penyemangat biar kita
sregep sekolah adalah perempuan yang cantik. Tampaknya aku mengamini itu.
Dia adek kelasku. Dari
berpuluh-puluh anak baru yang masuk SMA NU ini, hanya dia yang terlihat
bersinar. Dimataku. Awalnya, aku tak pernah tau kehadirannya. Aku baru tau
ketika ada tugas buat anak-anak MOS baru, untuk minta tandatangan pada
kakak-kakak OSIS. Dan dia pun datang padaku.
Aku sempet kaget juga
ketika tiba-tiba dia datang padaku. Dengan membawa sebuah buku dan sebatang
pulpen, dia menyodorkannya padaku, dan dengan senyum seindah gunung fuji dan
gigi tengah yang mirip gigi kelinci. Memaksa aku untuk menanda tangani bukunya.
“ Kak, minta tandatangannya”. “ Tandatangan
apa?” kataku berlagak gak tau. Padahal aku sebagai panitia MOS sudah tau dengan
kegiatan semacam itu.
“ Ya, tandatangan
kakak, kakak kan OSIS, panitia. Jadi aku disuruh minta tandatangan kakak”
katanya dengan tetap menyondongkan bukunya.
“ Kalau aku gak mau, gimana” kataku. Sedikit menggoda.
“ Ayo lah, Kak. Please” katanya memelas
“ Kalau aku gak mau, ya gak mau” aku terus menggoda dia.
“ Kakak pelit, aku gak mau berteman sama kakak” katanya dengan wajah rada cemberut. Sumpah, lucu banget mimik wajahnya itu. Dengan pipi yang digembungin dan bibir yang rada dimonyongin, bikin aku gemes. Ingin aku cubit saja pipinya itu.
“ Yee, gitu aja marah. Katanya mau minta tandatangan”
“ Lha kakak gak mau gitu” katanya. Masih dengan wajah cemberutnya.
“ Aku mau, tapi ada syaratnya” Aku menggoda lagi.
“ Tuh kan, koq masih ada syaratnya. Kalau gak mau. Ya udah aku pergi” katanya tambah cemberut lagi.
“ Loh, kan memang begitu syaratnya. Setiap kakak OSIS pasti ngasih kamu tugas. Tuh, liat saja. Ada temanmu yang disuruh nyanyi. Tuh liat lagi, ada yang disuruh ngerayu. Nah itu. Disuruh ngapain itu. Semua sama. Dapat tugas sendiri-sendiri. Lha kamu, malah Cuma mau enak-enak minta tandatangan, tapi gak mau dikasih tugas” kataku sok tegas.
“ Hmm, iya deh kak. Tapi jangan berat-berat tugasnya. Dan jangan nyuruh aku ngerayu. Aku gak mau” katanya sambil geleng-geleng kepala.
‘kena deh’pikirku. “ Enggak-enggak. Gini, tugasmu adalah kamu cari kakak OSIS yang namanya Irwan. Dan harus bawa langsung ke hadapan ini. Sekarang !.” Perintahku.
“ Tapi kak. Kak Irwan yang mana. Kelas berapa?” tanyanya sebelum ia pergi.
“ Ya kamu cari donk. Tanya temenmu. Pokoknya aku tunggu disini secepatnya. Kalau tidak. Aku pergi. Dan kamu gak dapat tandatanganku” aku berlagak tegas dan sedikit mengancam. Tampaknya manjur juga, ia mulai kebingungan.
“ Tunggu donk kak. Iya ya, aku cari Kak Irwan dulu” katanya sambil berlari menuju ke arah teman-temannya. Lucu juga lihat tingkahnya yang kebingungan seperti itu.
“ Kalau aku gak mau, gimana” kataku. Sedikit menggoda.
“ Ayo lah, Kak. Please” katanya memelas
“ Kalau aku gak mau, ya gak mau” aku terus menggoda dia.
“ Kakak pelit, aku gak mau berteman sama kakak” katanya dengan wajah rada cemberut. Sumpah, lucu banget mimik wajahnya itu. Dengan pipi yang digembungin dan bibir yang rada dimonyongin, bikin aku gemes. Ingin aku cubit saja pipinya itu.
“ Yee, gitu aja marah. Katanya mau minta tandatangan”
“ Lha kakak gak mau gitu” katanya. Masih dengan wajah cemberutnya.
“ Aku mau, tapi ada syaratnya” Aku menggoda lagi.
“ Tuh kan, koq masih ada syaratnya. Kalau gak mau. Ya udah aku pergi” katanya tambah cemberut lagi.
“ Loh, kan memang begitu syaratnya. Setiap kakak OSIS pasti ngasih kamu tugas. Tuh, liat saja. Ada temanmu yang disuruh nyanyi. Tuh liat lagi, ada yang disuruh ngerayu. Nah itu. Disuruh ngapain itu. Semua sama. Dapat tugas sendiri-sendiri. Lha kamu, malah Cuma mau enak-enak minta tandatangan, tapi gak mau dikasih tugas” kataku sok tegas.
“ Hmm, iya deh kak. Tapi jangan berat-berat tugasnya. Dan jangan nyuruh aku ngerayu. Aku gak mau” katanya sambil geleng-geleng kepala.
‘kena deh’pikirku. “ Enggak-enggak. Gini, tugasmu adalah kamu cari kakak OSIS yang namanya Irwan. Dan harus bawa langsung ke hadapan ini. Sekarang !.” Perintahku.
“ Tapi kak. Kak Irwan yang mana. Kelas berapa?” tanyanya sebelum ia pergi.
“ Ya kamu cari donk. Tanya temenmu. Pokoknya aku tunggu disini secepatnya. Kalau tidak. Aku pergi. Dan kamu gak dapat tandatanganku” aku berlagak tegas dan sedikit mengancam. Tampaknya manjur juga, ia mulai kebingungan.
“ Tunggu donk kak. Iya ya, aku cari Kak Irwan dulu” katanya sambil berlari menuju ke arah teman-temannya. Lucu juga lihat tingkahnya yang kebingungan seperti itu.
Dari jauh, aku melihat
dia berkeliling. Dari kelas perkelas. Mencari Irwan, sahabatku sesama OSIS.
Tiap ketemu kakak kelas, dia menunjukkannya padaku. Dan aku hanya geleng-geleng
kepala karena bukan mereka yang aku maksud. Sampai ketika, setengah berlari dia
memanggil aku.
“ Kak. Aku dah ketemu
Kak Irwan. Itu orangnya kan” katanya girang sambil menunjuk ke arah Irwan lewat.
“ Mana. Bawa kesini” kataku.
“ Alah kak. Itu loh orangnya. Dia gak mau tak ajak kesini. Ayolah kak. Jangan pelit-pelit, please” katanya memohon.
“ Hmm. Ya udah deh. Sini bukunya. Nama kamu siapa?”
“ Aprilia, kak. Panggil saja April”
“ Ya udah April. Ini buku dan tandatangannya” kataku seraya menyerahkan buku yang telah aku tandatangani.
“ Makasih ya kak” katanya dengan senyum gunung fujinya. Duh manisnya.
“ Mana. Bawa kesini” kataku.
“ Alah kak. Itu loh orangnya. Dia gak mau tak ajak kesini. Ayolah kak. Jangan pelit-pelit, please” katanya memohon.
“ Hmm. Ya udah deh. Sini bukunya. Nama kamu siapa?”
“ Aprilia, kak. Panggil saja April”
“ Ya udah April. Ini buku dan tandatangannya” kataku seraya menyerahkan buku yang telah aku tandatangani.
“ Makasih ya kak” katanya dengan senyum gunung fujinya. Duh manisnya.
Berhari-hari kemudian
setelah kejadian itu. Kita masih sering bertemu. Jelas. Karena sekolahku tak
terlalu besar dan hanya ada halaman sebesar lapangan voli yang memisahkan
kelasku dengan kelasnya.
Sehabis kejadian itu
pula, kita menjadi dekat. Kita sering bertemu di perpustakaan. Kadang dia
sering tanya tentang pelajaran yang sulit padaku. Dan aku, dengan sangat tidak
keberatan mengajarinya. Yah, hitung-hitung bisa dekat dengannya.
Satu hal yang aku suka
dari dia, senyumnya. Ya, senyum yang setiap hari menari-nari dalam anganku.
Tawa khas nya. Dan tentu, pipi yang chubi, yang kalau aku bukan kakak kelas dan
gak jaim, sudah aku cubit-cubit tuh pipi. Gemes.
Setiap hari, setiap
istirahat aku selalu pergi ke perpustakaan. Di setiap itu, April terkadang
lewat sehabis ia beli jajan di kantin. Karena letak kantin yang bersebelahan
dengan perpustakaan, sehingga aku bisa tau kalau ia lewat. Kadang aku ajak
ngobrol dia di perpustakaan.
Semua rutinitas itu
begitu menyenangkan bagiku. Sampai ketika, akhirnya aku melihat kalau Sahabatku
sepertinya punya rasa yang sama denganku. Merasa nyaman ketika bersama dia.
Pikirku, masak sesama
teman menyukai satu orang yang sama. Bagaimana nanti nasib persahabatan ini.
Mana mungkin aku harus bersaing dengan sahabatku sendiri untuk memperebutkan
dia. April, apa yang harus aku lakukan?
Roni Cool
05 Maret 2014
Langganan:
Postingan (Atom)