Tadi malam aku ikut seminar
“Social Spiritual Entrepeneur” bersama Ridwan Abadi ( Owner Batagor Jepang ) di
Islamic Book Fair, Malang. Dalam seminar itu Mas Ridwan berkata, kalau bisnis
itu tak bisa dilepaskan dari yang namanya ibadah. Bisnis dan Ibadah adalah dua
hal yang saling melengkapi. “Bisnis itu adalah ibadah dan ibadah itu bisa
melalui bisnis”. Tidak seperti apa yang dikatakan oleh para pebisnis beraliran
kapitalis, bahwa bisnis dan ibadah itu berbeda. “ Bisnis ya bisnis, ibadah ya
ibadah, jangan dicampuradukkan”.
Dosenku
di STAI Kepanjen, Mr. DR. Taufiqi Bravo ( Owner “Bravo VIEC” , Malang ) juga mengatakan.
Bisnis adalah sarana ibadah kita untuk dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya
kepada sebanyak-banyaknya manusia di muka bumi ini. Jadi, lewat bisnis kita
juga dapat beribadah.
Aku
tidak akan membantah kedua pendapat diatas, karena kedua-duanya aku amini.
Bisnis itu ibadah dan ibadah itu bisnis. Yang akan kita coba diskusikan dalam
tulisan kali ini adalah bagaiamana jika“MESBISNISKAN” IBADAH.
Beberapa
waktu yang lalu di desaku, Bulupitu. Ada sebuah pengajian yang mendatangkan seorang
Ustadz yang berdakwah dengan cara yang luar biasa ( tak perlu aku sebutkan
namanya dan cara dakwahnya ). Dari cara dakwahnya yang luar biasa itu banyak
warga yang kagum terhadap sosok Ustadz ini. Sehingga banyak warga yang
mengharapkan beliau hadir lagi dalam pengajian yang akan diadakan tahun
berikutnya.
Pucuk
bersambut, Ustadz ini akan hadir lagi ke Bulupitu. Kali ini akan singgah ke
rumah salah satu saudaraku. Betapa senangnya dia karena rumahnya akan
kedatangan seorang ustadz yang menjadi
“idola baru” di desaku ini. Saudaraku itu juga mendapat pesan dari sang Ustadz
untuk mengajak orang sebanyak-banyaknya pada acara yang akan diselenggrakan
nanti. Pikirku Ustadz itu akan mengadakan pengajian lagi. Tapi itu salah.
Mulanya
memang sang Ustadz memberikan “Mauidah Hasanah”. Tapi lama kelamaan, “mauidhah”
itu sedikit demi sedikit melenceng ke arah lain. Ujung-ujungnya, sang Ustadz
memperkenalkan salah satu minuman yang katanya dapat menyembuhkan berbagai
macam penyakit. Cukup minum satu tutup botol saja tiap hari. Maka penyakit yang
diderita akan segera hilang.
Dari
sini aku sudah dapat menebak, kemana arah “mauidah” ini akan berakhir. Karena,
dilihat dari merk yang ada dalam kemasan botol minuman itu (yang tidak ada
Arab-arabnya sama sekali) dan juga dari cara bicara sang ustadz. Pasti ini akan
menjurus keranah komersil.
Ternyata
benar. Ustadz itu menawarkan kepada setiap orang yang ingin mendapatkan minuman
itu untuk bergabung ke dalam sebuah sistem. Cukup dengan memberikan uang
sebesar Rp. 150.000, maka dia akan mendapatkan minuman itu beserta satu set
“petunjuk” produk kesehatan lainnya.
Dan jika orang itu sudah
bergabung, maka dia boleh menjual minuman itu kepada orang lain atau mengajak
orang lain untuk ikut bergabung dalam sistem ini. Semakin banyak orang lain yang
diajak masuk dan mau bergabung dalam sistem ini, maka semakin besar bonus yang
akan dia dapatkan kelak. Satu hal yang dapat aku simpulkan dari “mauidhah
hasanah” ini, MLM.
Ya, Ustadz itu telah
“membisniskan” ibadah. Mengkomersilkan dakwah dan memanfaatkan ketokohan dalam dirinya
untuk mendapatkan keuntungan. Tidak salah memang. Tapi sayang, tidak
menempatkan sesuatu pada tempatnya. Ketika kami datang berduyun-duyun untuk
mendengarkan ceramahnya, syukur-syukur jika beliau mau melakukan dakwahnya yang
luar biasa sekali lagi. Tetapi bukan itu yang kami dapatkan, tetapi sebuah
“tawaran” produk yang sebenarnya tidak kami butuhkan.
Sudah ada beberapa
orang yang ikut bergabung dalam “bisnis” ini. Termasuk saudaraku. Aku
menganggapnya mereka itu “korban”. Korban karena rasa kekaguman mereka pada
sosok sang Ustadz, yang menurut anggapan mereka adalah orang yang baik, alim
dan tak mungkin menjerumuskan mereka ke dalam hal-hal yang merugikan, sehingga
mereka percaya dan ikut masuk dalam sistem ini. Namanya juga orang desa, lugu.
Jika ada orang yang berpakaian putih-putih terus berkopyah putih, apalagi itu
seorang Ustadz. Pasti langsung dipercaya.
Tak salah memang mereka
masuk dalam MLM ini. Itu hak mereka. Mungkin juga ada beberapa orang yang
berpendapat bahwa, orang yang bergabung itu juga tidak dirugikan karena sudah mendapatkan
apa yang diinginkan, yaitu minuman itu. Tapi bagiku, tetap saja orang itu telah
tertipu. Meskipun secara tidak langsung dan halus sekali. Semua itu memang cara
yang digunakan oleh MLM untuk menggaet calon customernya. Seakan-akan baik,
tapi ada maksud yang tersembunyi di belakangnya. Entah kenapa aku menganggapnya
itu sebagai sebuah penipuan. (hal ini pernah aku bahas dalam tulisan yang
berjudul “ MELIA dan MLM”).
Kini, setelah beberapa
waktu berlalu. Sang Ustadz tidak pernah lagi datang ke Bulupitu. Dan “bisnis”
itu, yang menjanjikan bonus bermilyar-milyar dan juga jalan-jalan ke luar
negeri. Mandeg di tengah jalan. Entah, bagaimana nasib orang yang telah
“termakan” ajakan Sang Ustadz itu.
Sayang memang, jika ada
orang yang memanfaatkan ketokohannya untuk mendapatkan sebuah keuntungan. Atau
bahkan, memanfaatkan ketokohan orang lain untuk maksud yang tidak semestinya.
Yang sering aku temui,
ada orang yang bilang bahwa, Aa Gym telah memulai bisnis ini atau Aa Gym juga
telah ikut dalam bisnis ini dan sekarang bisa dilihat kalau Aa Gym telah
sukses. Begitu juga, ada yang menggunakan nama Ustadz Yusuf Mansyur, katanya
beliau telah memulai bisnis itu. Siapa yang ikut bisnis itu maka tak hanya
keuntungan duniawi yang di dapat tapi juga keberkahan pahala nanti di akhirat.
Pertanyaannya, benarkah
itu semua dari mereka?. Setau saya, (baik Aa Gym maupun Ustadz Yusuf Mansyur) “bisnis”
mereka itu berbasis dakwah dan telah dikenal oleh banyak kalangan masyarakat.
Seperti MQ ( Manajemen Qolbu) Aa Gym atau PPIQ nya Ustadz Yusuf mansyur.
Semuanya berbasis dakwah. Kalau dilihat lagi, sepertinya tak bertujuan untuk
mencari keuntungan.
Jadi, kalau sekarang
ada “bisnis” yang mengatasnamakan mereka dan belum dikenal oleh orang banyak. Bisnis
ini perlu dipertanyakan keafdolannya. Jangan-jangan hanya mendompleng nama saja
atau memanfaatkan ketokohan mereka. Jika itu memang benar, maka dalam hal ini,
sepertinya aku setuju pada para pebisnis kapitalis itu.“ Bisnis ya bisnis,
ibadah ya ibadah, jangan dicampuradukkan”.
STOP “Membisniskan”
Ibadah!.
Salam Respect
Roni Cool
Roni Cool
11 Maret 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar