Selasa, 11 Maret 2014

BISNIS ITU IBADAH, TAPI BUKAN “MEMBISNISKAN” IBADAH



            Tadi malam aku ikut seminar “Social Spiritual Entrepeneur” bersama Ridwan Abadi ( Owner Batagor Jepang ) di Islamic Book Fair, Malang. Dalam seminar itu Mas Ridwan berkata, kalau bisnis itu tak bisa dilepaskan dari yang namanya ibadah. Bisnis dan Ibadah adalah dua hal yang saling melengkapi. “Bisnis itu adalah ibadah dan ibadah itu bisa melalui bisnis”. Tidak seperti apa yang dikatakan oleh para pebisnis beraliran kapitalis, bahwa bisnis dan ibadah itu berbeda. “ Bisnis ya bisnis, ibadah ya ibadah, jangan dicampuradukkan”.
            Dosenku di STAI Kepanjen, Mr. DR. Taufiqi Bravo ( Owner “Bravo VIEC” , Malang ) juga mengatakan. Bisnis adalah sarana ibadah kita untuk dapat  memberikan manfaat yang sebesar-besarnya kepada sebanyak-banyaknya manusia di muka bumi ini. Jadi, lewat bisnis kita juga dapat beribadah.
            Aku tidak akan membantah kedua pendapat diatas, karena kedua-duanya aku amini. Bisnis itu ibadah dan ibadah itu bisnis. Yang akan kita coba diskusikan dalam tulisan kali ini adalah bagaiamana jika“MESBISNISKAN” IBADAH.
            Beberapa waktu yang lalu di desaku, Bulupitu. Ada sebuah pengajian yang mendatangkan seorang Ustadz yang berdakwah dengan cara yang luar biasa ( tak perlu aku sebutkan namanya dan cara dakwahnya ). Dari cara dakwahnya yang luar biasa itu banyak warga yang kagum terhadap sosok Ustadz ini. Sehingga banyak warga yang mengharapkan beliau hadir lagi dalam pengajian yang akan diadakan tahun berikutnya.
            Pucuk bersambut, Ustadz ini akan hadir lagi ke Bulupitu. Kali ini akan singgah ke rumah salah satu saudaraku. Betapa senangnya dia karena rumahnya akan kedatangan seorang ustadz  yang menjadi “idola baru” di desaku ini. Saudaraku itu juga mendapat pesan dari sang Ustadz untuk mengajak orang sebanyak-banyaknya pada acara yang akan diselenggrakan nanti. Pikirku Ustadz itu akan mengadakan pengajian lagi. Tapi itu salah.
            Mulanya memang sang Ustadz memberikan “Mauidah Hasanah”. Tapi lama kelamaan, “mauidhah” itu sedikit demi sedikit melenceng ke arah lain. Ujung-ujungnya, sang Ustadz memperkenalkan salah satu minuman yang katanya dapat menyembuhkan berbagai macam penyakit. Cukup minum satu tutup botol saja tiap hari. Maka penyakit yang diderita akan segera hilang.
            Dari sini aku sudah dapat menebak, kemana arah “mauidah” ini akan berakhir. Karena, dilihat dari merk yang ada dalam kemasan botol minuman itu (yang tidak ada Arab-arabnya sama sekali) dan juga dari cara bicara sang ustadz. Pasti ini akan menjurus keranah komersil.
            Ternyata benar. Ustadz itu menawarkan kepada setiap orang yang ingin mendapatkan minuman itu untuk bergabung ke dalam sebuah sistem. Cukup dengan memberikan uang sebesar Rp. 150.000, maka dia akan mendapatkan minuman itu beserta satu set “petunjuk” produk kesehatan lainnya.
Dan jika orang itu sudah bergabung, maka dia boleh menjual minuman itu kepada orang lain atau mengajak orang lain untuk ikut bergabung dalam sistem ini. Semakin banyak orang lain yang diajak masuk dan mau bergabung dalam sistem ini, maka semakin besar bonus yang akan dia dapatkan kelak. Satu hal yang dapat aku simpulkan dari “mauidhah hasanah” ini, MLM.
Ya, Ustadz itu telah “membisniskan” ibadah. Mengkomersilkan dakwah dan memanfaatkan ketokohan dalam dirinya untuk mendapatkan keuntungan. Tidak salah memang. Tapi sayang, tidak menempatkan sesuatu pada tempatnya. Ketika kami datang berduyun-duyun untuk mendengarkan ceramahnya, syukur-syukur jika beliau mau melakukan dakwahnya yang luar biasa sekali lagi. Tetapi bukan itu yang kami dapatkan, tetapi sebuah “tawaran” produk yang sebenarnya tidak kami butuhkan.
Sudah ada beberapa orang yang ikut bergabung dalam “bisnis” ini. Termasuk saudaraku. Aku menganggapnya mereka itu “korban”. Korban karena rasa kekaguman mereka pada sosok sang Ustadz, yang menurut anggapan mereka adalah orang yang baik, alim dan tak mungkin menjerumuskan mereka ke dalam hal-hal yang merugikan, sehingga mereka percaya dan ikut masuk dalam sistem ini. Namanya juga orang desa, lugu. Jika ada orang yang berpakaian putih-putih terus berkopyah putih, apalagi itu seorang Ustadz. Pasti langsung dipercaya.
Tak salah memang mereka masuk dalam MLM ini. Itu hak mereka. Mungkin juga ada beberapa orang yang berpendapat bahwa, orang yang bergabung itu juga tidak dirugikan karena sudah mendapatkan apa yang diinginkan, yaitu minuman itu. Tapi bagiku, tetap saja orang itu telah tertipu. Meskipun secara tidak langsung dan halus sekali. Semua itu memang cara yang digunakan oleh MLM untuk menggaet calon customernya. Seakan-akan baik, tapi ada maksud yang tersembunyi di belakangnya. Entah kenapa aku menganggapnya itu sebagai sebuah penipuan. (hal ini pernah aku bahas dalam tulisan yang berjudul “ MELIA dan MLM”).
Kini, setelah beberapa waktu berlalu. Sang Ustadz tidak pernah lagi datang ke Bulupitu. Dan “bisnis” itu, yang menjanjikan bonus bermilyar-milyar dan juga jalan-jalan ke luar negeri. Mandeg di tengah jalan. Entah, bagaimana nasib orang yang telah “termakan” ajakan Sang Ustadz itu.
Sayang memang, jika ada orang yang memanfaatkan ketokohannya untuk mendapatkan sebuah keuntungan. Atau bahkan, memanfaatkan ketokohan orang lain untuk maksud yang tidak semestinya.
Yang sering aku temui, ada orang yang bilang bahwa, Aa Gym telah memulai bisnis ini atau Aa Gym juga telah ikut dalam bisnis ini dan sekarang bisa dilihat kalau Aa Gym telah sukses. Begitu juga, ada yang menggunakan nama Ustadz Yusuf Mansyur, katanya beliau telah memulai bisnis itu. Siapa yang ikut bisnis itu maka tak hanya keuntungan duniawi yang di dapat tapi juga keberkahan pahala nanti di akhirat.
Pertanyaannya, benarkah itu semua dari mereka?. Setau saya, (baik Aa Gym maupun Ustadz Yusuf Mansyur) “bisnis” mereka itu berbasis dakwah dan telah dikenal oleh banyak kalangan masyarakat. Seperti MQ ( Manajemen Qolbu) Aa Gym atau PPIQ nya Ustadz Yusuf mansyur. Semuanya berbasis dakwah. Kalau dilihat lagi, sepertinya tak bertujuan untuk mencari keuntungan.
Jadi, kalau sekarang ada “bisnis” yang mengatasnamakan mereka dan belum dikenal oleh orang banyak. Bisnis ini perlu dipertanyakan keafdolannya. Jangan-jangan hanya mendompleng nama saja atau memanfaatkan ketokohan mereka. Jika itu memang benar, maka dalam hal ini, sepertinya aku setuju pada para pebisnis kapitalis itu.“ Bisnis ya bisnis, ibadah ya ibadah, jangan dicampuradukkan”.
STOP “Membisniskan” Ibadah!.

Salam Respect
Roni Cool
11 Maret 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar